Courtesy of thehandsindia.com
wartaperang - Tasleema, seorang anak perempuan enam tahun adalah seorang yatim piatu. Dia tidak memiliki bayangan tentang kengerian yang telah dihadapi orang tuanya. Lebih buruk lagi, dia tidak memiliki masa depan karena dia termasuk salah satu dari hampir 650 keluarga pengungsi Muslim Rohingya dari Myanmar yang tinggal di ibukota Jammu dan Kashmir sejak 2008 pada musim dingin ini.

Molvi Yunus, 39, adalah seorang pengungsi Rohingya Muslim yang tinggal bersama keluarganya di Narwal daerah Jammu di mana sebuah perkampungan kumuh dan busuk berada disana. The 'jhuggies' (struktur yang terbuat dari batang bambu yang dibungkus di sisi dan bagian atas dengan penutup plastik) adalah apa yang dihuni oleh keluarga pengungsi ini dengan menyebutnya sebagai rumah mereka.

Sekitar 6.000 pengungsi Muslim Rohingya tinggal di tempat yang berbeda di kota Jammu.

Tidak ada air minum, tidak ada listrik, tidak ada toilet dan tidak ada fasilitas kesehatan bagi mereka tapi para pengungsi berterima kasih pada Tuhan karena mereka percaya hidup mereka 'aman'.

"Aku menyeberang ke Bangladesh dari Burma (Myanmar) ketika penganiayaan Muslim menjadi tak tertahankan. Dari Calcutta Aku bergeser dengan keluarga ku ke Delhi di mana aku memohon untuk makanan untuk menjaga diri dan keluarga ku tetap hidup," kata Yunus saat ia menceritakan kisahnya.

"Ketika di Delhi aku bertemu dengan seorang Kashmiri yang mengatakan kepada saya J & K adalah negara bagian di India di mana Muslim tinggal dan menjadi mayoritas. Saya datang ke sini pada tahun 2008. Umat Buddha dan Muslim berjuang bersama-sama untuk kemerdekaan Burma. Hanya dua tahun setelah tahun 1948, salah satu senior kami dan juga tokoh masyarakat, Abdul Razak dibunuh, di bawah konspirasi."

"Setelah itu, proses penganiayaan Muslim dimulai di Burma. Pada tahun 1972 hak-hak agama kami dirampas. Tidak ada Muslim bisa membangun masjid baru atau sebuah masjid tua bisa diperbaiki."

"Pajak juga dikenakan pada umat Islam. Untuk mengubur seorang muslim kita harus membayar pajak besar kepada pemerintah. Muslim harus memberikan seperempat dari hasil pertanian mereka kepada pemerintah tanpa kompensasi apapun," Yunus mengaku.

"Kerabat saya yang melarikan diri keluar dari Burma ke India setelah 2012 mengatakan kepada saya bahwa sekelompok pengkhotbah Muslim datang ke kabupaten Moungdow asli kami pada tahun 2012. Dalam perjalanan mereka kembali dari Moungdow dimana mereka telah mengadakan kongregasi religius, semua dari sembilan pengkhotbah diculik dan dibunuh dengan brutal", kata Yunus.

Ketika suara-suara digaungkan terhadap penganiayaan Muslim, otoritas pemerintah memberi senjata dan seragam tentara untuk anggota komunitas lainnya yang mengamuk untuk membunuh Muslim pria, wanita dan anak-anak.

Ali Ahmed, 66 tahun, adalah pengungsi Rohingya lain yang tinggal di Narwal. Dia mengatakan setelah menetap sebagai pengungsi di Jammu, masyarakat tidak memiliki masa depan kecuali bahwa hidup mereka aman.

"Ya, kita tidak akan dibunuh di sini, tapi kita selalu bisa mati kelaparan. Kita tidak bisa mendapatkan pekerjaan pemerintah. Anak-anak kita tidak diakui dalam setiap sekolah negeri sampai dua tahun yang lalu. Sekarang, kami diijinkan untuk mengirim anak-anak kita ke sekolah pemerintah", kata Ali Ahmed.

Para pemuda dari masyarakat seperti Usman Gani, 22, Mehmood-ul-Haq, 25, dan lain-lain bekerja sebagai pengumpul barang bekas, memulai hari mereka sebelum matahari terbit.

"Kami mengumpulkan memo dan menjualnya untuk memo dealer di kota. Kami juga melakukan pekerjaan seperti memasang kabel bawah tanah untuk perusahaan telekomunikasi atau peletakan dari rel kereta. Tapi bukan untuk mencari nafkah. Kami hanya bertahan hidup", kata Usman Gani.

Yunus mengatakan ia telah meminta hampir setiap menteri dan birokrat sebelumnya dan dari pemerintah yang hadir untuk menceritakan masalah komunitasnya.

"Mereka mengatakan 'kareingay' (Akan melakukan), tapi tidak ada yang melakukan sesuatu untuk kita," katanya.

Ketika sesepuh masyarakat meriwayatkan cerita menyayat hati mereka untuk IANS, Tasleema memandang dengan harapan. Sebuah pandangan samar, setengah senyum di wajahnya menunjukkan dia berpikir seseorang telah datang untuk mengatasi masalah dan menjamin masa depan yang lebih baik baginya.

Gadis itu tidak tahu bahwa miliknya akan menjadi 'human interest' cerita lain untuk pembaca. Tidak ada yang bisa menjamin dirinya esok yang lebih baik, untuk semua anggota komunitas pengungsi ini yang hidup 'ilegal' di Jammu dan Kashmir.

sumber: thehansindia
oleh: n3m0

1 komentar:

 
Top